Aku Menyayangimu Ayah (Script)
3. Kebetulan (Scene 11 - 14)

11. EXT. LORONG KAMPUS - UNIVERSITAS JAYA ABADI - SIANG

Herman dan Fira sedang berjalan menyusuri lorong kampus. Mereka baru saja sampai di kampus. Sepanjang perjalanan, banyak mahasiswa yang menyapa dan menyalami Herman.

HERMAN

Kamu kelasnya sampai jam berapa sayang?

FIRA

Mungkin sampai jam tiga pa. Kenapa?

HERMAN

Nanti pulangnya bareng papa ya.

FIRA

Oh, kirain kenapa. Itu mah pasti, hemat ongkos juga kan

(terkekeh kecil)

LS. FIRA MELIHAT NASYA DARI KEJAUHAN

FIRA

(memanggil dengan suara lantang)

Nasya!

HERMAN

Siapa sayang?

FIRA

Teman aku pa.

Nasya melambaikan tangan kepada Fira lalu menghampirinya.

NASYA

Assalamualaikum Fir, pak.

HERMAN, FIRA

Waalaikumussalam.

FIRA

Pa, kenalin ini Nasya teman satu kelas aku.

Nasya menyalami tangan Herman. Herman merasakan sesuatu yang aneh saat tangannya bersentuhan dengan dahi Nasya.

HERMAN (VO)

Ya Allah, ada apa ini? Perasaan apa yang aku rasakan saat ini?

NASYA

Nasya, pak.

Herman melamun, membuat Nasya dan Fira heran. Sapaan Nasya pun tak dijawab oleh Herman.

Fira menyenggol lengan Herman membuat empunya terkesiap dari lamunannya.

FIRA

Papa kenapa bengong? Itu Nasya lagi kenalan sama papa.

HERMAN

Ah iya, nama saya Herman. Ayahnya Fira.

NASYA

Iya pak, salam kenal.

FIRA

Oh iya, tugas lo gimana Sya? Udah?

NASYA

Sudah dong, kalau belum bisa bisa beasiswa gua dicabut.

(terkekeh kecil)

FIRA

Bisa aja lo.

HERMAN

Hm, papa ke ruangan dulu ya sayang.

FIRA

Eh iya pa.

HERMAN

Mari, permisi.

NASYA

Silahkan pak.

Herman meninggalkan Fira dan Nasya berdua. Dengan perasaan yang tak bisa diuraikan, Herman berjalan menuju ruangannya. Sesekali menengok ke belakang dan memperhatikan Nasya dari kejauhan.

HERMAN (VO)

Siapa sebenarnya anak itu? Kenapa aku merasakan sesuatu yang berbeda?

Nasya melihat Herman dari kejauhan dengan perasaan yang sulit diartikan. Entah mengapa, ada satu hal yang mengganjal hatinya kala mencium tangan Herman tadi.

FIRA

Sekarang lo yang bengong, kenapa sih?

NASYA

Gak apa-apa kok. Yuk, ke kelas.

FIRA

Yuk.

CUT TO :

12. INT. RUANGAN REKTOR - UNIVERSITAS JAYA ABADI - SIANG

Herman duduk di kursinya sembari memijat pelan pelipisnya. Pikirannya tertuju pada sahabat dari Fira anaknya, Nasya. Herman termenung dan menyelami pikirannya.

HERMAN

Kenapa aku seperti melihat sosok dia di wajah anak tadi? Ada apa ini sebenarnya ya Allah?

Herman mengusap wajahnya kasar. Beberapa kali menggumamkan istighfar.

HERMAN

Mungkin perasaan aku saja. Aku harus cari tahu latar belakang anak itu.

Herman mengambil ponselnya dan menghubungi salah seorang asistennya untuk menyelidiki soal Nasya lebih dalam.

CUT TO :

13. INT. RUANG MAKAN RUMAH HERMAN - RUMAH HERMAN - MALAM

Keluarga Herman (Herman, Intan, dan Fira) sedang menikmati makan malam bersama. Herman teringat sesuatu akan Nasya. Ia pun meletakkan alat makannya sebentar.

HERMAN

Fir.

FIRA

Iya pa.

(menoleh ke arah Herman)

HERMAN

Teman kamu yang tadi, dia tinggal di mana?

Intan mengernyit bingung. Tak biasanya sang suami menanyakan soal teman-teman dari Fira, anaknya.

INTAN

Ada apa emang pa?

HERMAN

Gak apa-apa ma, papa cuma ingin tahu aja.

FIRA

Oh, Nasya itu tinggal di jalan kenanga kalo gak salah. Dia cuma tinggal sama ibunya. Katanya sih, ayahnya ninggalin dia waktu dia masih dalam kandungan ibunya.

Hening.

Herman diam. Entah mengapa, penjelasan yang keluar dari mulut anaknya itu seperti melemparnya ke masa lalu.

HERMAN (VO)

Mungkin hanya kebetulan. Gak mungkin anak itu, adalah anak dia. Gak mungkin.

Intan dan Fira saling tatap melihat Herman yang melamun. Intan melambaikan tangannya di depan wajah Herman, membuat Herman tersentak dari lamunannya.

INTAN

Papa kenapa? Kok malah melamun gitu?

HERMAN

Gak apa-apa ma.

INTAN

Yakin?

HERMAN

Iya ma, papa gak apa-apa.

FIRA

Papa kenapa tanya soal Nasya?

HERMAN

Gak apa-apa, papa cuma mau tahu aja siapa teman-teman kamu dan latar belakangnya.

FIRA

Oh.

INTAN

Yaudah, mending sekarang lanjut makannya.

Mereka bertiga melanjutkan makan malam dengan khidmat.

CUT TO :

14. INT. RUANG KELUARGA RUMAH RATIH - RUMAH RATIH - MALAM

Ratih sedang duduk di kursi ruang keluarga sambil melamun. Televisi yang dibiarkan menyala hanya ia pandang dengan tatapan kosong.

FLASHBACK

Ratih menatap lemah sebuah benda pipih di tangannya. Benda yang menunjukkan tanda dua garis merah itu, seketika menghancurkan hidupnya. Ia menangis, meraung, dan menyesali perbuatannya.

RATIH

Aku harus bagaimana ya Allah. Apa dia mau bertanggungjawab atas semua ini?

(beat)

Maafkan hamba-Mu yang kotor ini ya Allah.

CU. RATIH MENYENTUH PERUT DATARNYA DENGAN GEMETAR

RATIH

Ibu akan menjaga kamu. Kamu harus kuat sama ibu ya sayang.

(beat)

FLASHBACK OFF

Ratih keluar dari lamunannya. Ia menyeka air matanya yang sempat menetes. Kenangan dua puluh dua tahun silam, kembali mengusik pikirannya.

RATIH

Kamu dimana mas? Apa memang kamu gak pernah mau mengakui Nasya, setelah kamu tahu Nasya itu anak yang membanggakan?

(beat)

Nasya butuh kamu. Nasya butuh kasih sayang ayahnya.

Nasya berdiri di belakang sang ibu. Ia memperhatikan televisi yang dibiarkan menyala begitu saja. Ia pun memperhatikan Ratih yang menyeka wajahnya.

NASYA

Bu.

Nasya menghampiri Ratih yang duduk di kursi. Ratih menyeka air matanya yang masih tersisa di pipinya.

Nasya duduk di sebelah Ratih lalu Ratih menatap Nasya dengan tersenyum.

RATIH

Kamu kok belum tidur?

NASYA

Nasya belum ngantuk. Ibu sendiri kenapa belum tidur?

RATIH

Ini ibu mau nonton tv dulu.

NASYA

Tapi, tadi Nasya perhatikan kayaknya ibu melamun deh. Ibu melamunkan apa?

Hening.

Ratih diam. Ia tak mungkin memberitahukan semua ini pada Nasya sekarang. Belum saatnya, belum saatnya Nasya tahu yang sebenarnya.

NASYA

Bu.

RATIH

Ah iya. Gak kok, ibu gak melamun.

NASYA

Ibu yakin? Belakangan ini, Nasya sering lihat ibu melamun bahkan sampai nangis. Ada apa bu? Ibu ada masalah? Cerita sama Nasya, bu.

CU. TANGAN RATIH MENGGENGGAM TANGAN NASYA

RATIH

Ibu gak apa-apa. Kamu gak usah khawatir ya sayang.

NASYA

(menghela nafasnya)

Yaudah, kalau ibu belum mau cerita gak apa-apa. Tapi, ibu harus janji apapun itu yang mengusik pikiran ibu, kasih tahu ke Nasya. Nasya pasti mendengarkan semua curhatan ibu. Karena ibu, adalah orang yang paling Nasya sayangi.

(VO) dan juga ayah.

RATIH

Iya nak, ibu janji.

Nasya memeluk Ratih erat. Ratih menangis dalam diam. Menutupi kebenaran selama puluhan tahun bukan hal mudah bagi Ratih. Tapi, ini yang terbaik menurutnya.

CUT TO :

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar