Subuh buta, setelah toa-toa masjid menggemakan kabar kematian salah satu penduduk kampung, Broto langsung bergegas menyiapkan cangkul-cangkul dan sekop-sekop, yang ia jajarkan di serambi rumahnya. Lalu, ia duduk di kursi rotan dan menunggu kawannya datang. Segelas teh sudah diseduhnya sebagai penghangat tubuh. Harapannya, semoga teh kurang gula itu bisa mencukupkan tenaganya untuk menggali lubang sedalam dua meter nanti.
Hampir seperempat jam menunggu, kawan Broto, Samidi namanya, seorang lelaki kepala empat, seorang pengangguran juga, datang dengan topi bundar yang bertengger di kepala. Tak lupa, kedatangan Samidi itu selalu dibarengi dengan sepeda motor butut yang suaranya bisa membangunkan bayi tidur. Untung saja tidak ada bayi di rumah Broto.
“Dah siap, Brot? Kita harus cepat ini! Jam sebelas nanti jenasah mau diturunkan,” ujar Samidi, sambil membuka topi bundarnya. Matanya melirik ke arah teh di atas meja. Dia hendak meminta, tetapi lalu sadar, teh itu cuma ada satu gelas kecil.
“Tumben. Biasanya sore?” tanya Broto, tak menanggapi gelagat tubuh Samidi yang berfokus kepada teh.
“Keluarganya minta cepat. Katanya tak boleh kalau mayatnya terlalu lama di dunia. Takut digigit nyamuk.” Samidi tertawa kecil. Pandangannya lalu berpindah, tak lagi ke arah gelas teh.
Huuussh! Broto mendelik. Tawa Samidi terhenti. Demi terhindar dari ceramah Broto, Samidi lalu menyalakan sepeda motornya dan membonceng Broto menuju ke areal pemakaman yang jaraknya sekitar setengah kilometer ke barat. Kira-kira lima belas menit kemudian mereka akan tiba di sana jika berkendara dengan kecepatan normal.
Butiran air di rerumputan masih belum mengering. Broto merapatkan jaket. Dingin sisa hujan tadi malam masih membekas hingga ke pagi. Jika saja bukan karena masalah perut, barangkali di jam segini dia masih terlena di bawah selimut. Jangankan untuk bekerja, bahkan matahari pun masih malu-malu menampakkan sinarnya.
Klontang-tang-tang-tang!
Segera suasana sunyi senyap pekuburan menjadi ramai karena suara sepeda motor Samidi yang menyalak. Saking bisingnya, suara motor butut itu barangkali tak cuma bisa membangunkan bayi tidur, tapi juga mengagetkan orang-orang mati. Knalpot butut itu memang sudah seharusnya tak menempel lagi di sepeda motor Samidi, yang sama bututnya. Namun, hendak mengganti dengan sepeda motor yang bersuara lembut pun Samidi tak sanggup.
Setelah sepeda motor itu padam, Broto turun beserta cangkul-cangkul dan sekop-sekop yang ditentengnya. Bunyi kluntang-klunting logam beradu menandakan bahwa pekerjaan kedua lelaki itu hampir bermula.
“Kita berdua saja?” tanya Broto heran dan mengedarkan pandangan ke seluruh areal pemakaman, ke arah batang-batang kamboja yang tumbuh sembarangan.
Sambil menyulut sebatang rokok lalu meletakkannya di bibir, Samidi mengangguk. “Jono sakit. Asam uratnya kambuh, istrinya batuk-pilek.”
Broto mengangguk.
“Tapi bagus, lah. Upah bagianku bisa agak banyakan. Nanti sore istriku mau periksa ke bidan,” sambung Samidi lagi.
Ha-ha-ha! Broto tertawa.
“Kenapa?” tanya Samidi.
“Untung aku tak punya istri,” jawab Broto.
Samidi terdiam.
“Bukannya tiga hari lalu kau baru dapat uang bantuan?” tanya Broto lagi.
“Habis. Buat belanja baju bayi. Kau pikir apa banyak kali uang yang mereka kasih itu.”
Broto tertawa lagi. Namun, Samidi tak menanggapi. Barangkali lelaki bertopi itu sudah tahu jawaban Broto selanjutnya, apalagi kalau bukan: “Untung aku tidak punya istri.”
Broto lalu mengeluarkan tali rafia. Sementara itu, Samidi mulai memegang ujung lainnya, mengukur besar liang, dan menancapkan kayu-kayu kecil di setiap batas tanah yang akan mereka gali.
Begitulah cara mereka berdua memenangkan hari, berharap sepeser dua peser uang bisa mampir ke saku celana walau sebentar. Meski tak banyak, kehadiran beberapa lembar uang itu sangat bisa membasahi kekeringan di hidup mereka. “Yang penting, asalkan masih bisa mencium baunya pun, aku enggak apa-apa, Brot,” ucap Samidi di satu waktu.
Samidi sama miskinnya seperti Broto. Dua lelaki itu hidup pas-pasan setiap hari. Jangankan baju bagus dan kendaraan mewah, untuk sekilo beras pun seringkali mereka harus berutang. Beruntung, ada banyak kedai sembako kecil-kecilan yang masih bersedia menangguhkan laba demi menjaga perut sejengkal tetangga dari rasa lapar.
Jangan tanya seperti apa usaha Broto dan Samidi untuk jadi kaya. Namun, tampaknya hidup kaya dengan gelimangan harta bukanlah nasib keduanya. Barangkali keberuntungan dan kemewahan enggan berihak kepada dua lelaki fakir ilmu dan fakir warisan seperti mereka. Padahal, segala nasihat dan upaya telah mereka jalankan habis-habisan. Pun soal filosofi bekerja siang dan malam dengan penuh keyakinan: siangnya mereka menggali kubur, lalu malamnya mereka menjajal usaha lain.
Katakanlah, ketika suatu sore Broto mengajak paksa Samidi untuk mencari nomor togel di atas kuburan tepat pada jam dua belas malam. Gara-gara itu, Broto menggigil, Samidi masuk angin. Bahkan setelah nomor didapat, mereka tetap gagal kaya. Bandar togelnya ditangkap polisi dan polisinya minggat setelah meraup uang milik mereka berdua. Untungnya Samidi dan Broto tidak ikutan ditangkap; untungnya pagi itu motor Samidi mogok; dan untungnya mereka terlambat sejam mendatangi tempat mangkal si bandar itu.
Atau, pernah juga mereka memaksa mencuri tali pocong untuk dijual mahal kepada seorang dukun. Belum pun tali didapat, Samidi lari tunggang-langgang meninggalkan Broto sendirian. Sesosok kuntilanak berbaju putih hinggap dan tertawa histeris di ranting pohon gayam dekat makam di malam itu. Keesokan harinya, Broto demam, tubuhnya panas dingin. Sisa upahnya menggali satu liang kuburan di bulan itu bahkan tak cukup untuk membayar biaya berobat ke sana-kemari.
Entah karena kemalangan atau karena kewarasan keduanya, sejak hari itu Broto dan Samidi kapok: kapok mencari nomor togel, kapok mencari tali pocong, dan kapok dengan hal-hal nyeleneh yang merepotkan lainnya. “Mungkin kita ditakdirkan cari rejeki yang halal-halal ya, Brot,” ujar Samidi kala itu, lesu.
Suara sirine ambulans meraung dari kejauhan, pertanda mayat akan segera tiba dan dikuburkan. Samidi dan Broto bergegas membereskan beberapa sekop tanah yang masih tersisa di dalam liang. Tak seperti biasanya, mayat yang akan mereka kuburkan kali ini tidaklah digotong ramai-ramai oleh orang sekampung. Kata Samidi, “Yang mau dikubur itu mayat orang kaya. Buat apa capek-capek dipanggul, wong, keluarganya bisa bayar mobil ambulans.”
Broto manggut-manggut. Bulir-bulir keringat mengalir bebas di dahinya juga dahi Samidi. Kulit-kulit setengah tua nan sedikit keriput itu makin gosong saja diterpa sinar matahari jam sepuluh siang itu.
Srak! Sruk! Srak! Sruk!
Tanah-tanah mulai berhamburan menutupi tubuh si mayat, memenuhi liang, lalu menghadirkan sebuah gundukan yang di atasnya ditancapkan nisan bertuliskan biodata almarhum. Setelah itu, air bersih akan mengguyur. Kemudian, bunga beraneka warna yang harganya tak jauh beda dengan upah kedua lelaki itu akan tumpah ruah menyelimuti permukaan makam. Selepas ritual selesai, sesegera mungkin, orang-orang sekampung akan meninggalkan pemakaman begitu saja, pulang ke rumah masing-masing, melupakan cuaca panas pekuburan, dan akan bersua kembali di tempat yang sama jika ada salah satu dari mereka yang mati kemudian.
Broto membereskan cangkul-cangkul dan sekop-sekop. Di kepalanya terbayang dua kilo beras serta lima butir telur yang akan ia beli sebagai bahan makan malam di hari itu. Kemarin, sudah dua kali berturut, ia dan Emak hanya menyantap bubur nasi rasa garam sebagai pengganjal rasa lapar.
Samidi menyalakan sepeda motor bututnya yang bising itu. Di kepalanya terbayang senyum istrinya, juga senyum bidan pinggiran desa yang memeriksa kehamilan istrinya, kondisi calon bayi pertama mereka.
Dua lelaki itu melaju meninggalkan makam dengan senyuman yang sama, pulang ke rumah yang berbeda, dan kehidupan yang berbeda pula. Namun, balada di hati keduanya sama: sama-sama menyanyikan harapan semoga esok atau lusa akan ada orang mati, dan orang mati lagi.
~